Keputusan Pengadilan Pajak Nomor Nomor PUT-007250.16/2023/PP/M.XIVA secara tegas menekankan bahwa substansi penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dalam konteks Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah transfer hak kepemilikan, bukan semata-mata pergerakan fisik inventaris. Dalam sengketa antara PT DM dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Majelis Hakim membatalkan koreksi DPP PPN sebesar Rp267.300.000,00 lantaran otoritas pajak gagal membuktikan adanya pengalihan hak atas kulit kerang yang dikirim Wajib Pajak ke gudang pihak ketiga di Surabaya. Putusan ini menjadi landasan yuridis penting bagi Wajib Pajak (WP) yang menggunakan skema penyimpanan persediaan di luar lokasi usaha utama.
PT DM mengajukan banding atas koreksi DPP PPN Keluaran yang didasarkan pada temuan fisik adanya pengiriman barang (kulit kerang) ke Surabaya. Terbanding, dalam hal ini DJP, mencurigai pengiriman tersebut sebagai penjualan yang tidak dilaporkan (undisclosed sale) dan menganggapnya memenuhi unsur penyerahan BKP sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPN. Kecurigaan ini dipicu oleh temuan adanya ketidaksesuaian alamat pengiriman dengan data lawan transaksi yang tercatat pada faktur pajak yang diterbitkan pada masa pajak lain.
Pihak Wajib Pajak, PT DM, membantah keras koreksi tersebut dengan argumentasi bahwa pengiriman itu hanya merupakan transfer stok atau penitipan persediaan di gudang milik PT PNP yang bertindak sebagai penyedia jasa manajemen logistik. Sesuai ketentuan Pasal 1A ayat (1) huruf a UU PPN, Pemohon Banding menyatakan bahwa tidak ada pengalihan hak kepemilikan. Untuk memperkuat dalilnya, WP menyajikan bukti bahwa tidak ada dokumen penjualan, invoice yang diterbitkan kepada PT PNP, maupun arus kas/bank yang mencerminkan pelunasan atas barang tersebut. Inti perselisihan terletak pada perbedaan fokus: DJP berfokus pada pergerakan fisik, sementara Pemohon Banding berpegang teguh pada absennya transfer hak dan pembayaran.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam pertimbangan hukumnya secara ex-officio menegaskan bahwa beban pembuktian utama berada pada DJP untuk menguatkan koreksi. Majelis berpendapat bahwa pergerakan fisik barang tidak serta merta memenuhi unsur Penyerahan BKP. Syarat utama sebuah transaksi menjadi objek PPN adalah adanya pengalihan hak kepemilikan kepada pihak lain, yang secara hukum dibuktikan melalui adanya perjanjian jual beli atau setara, yang diikuti dengan penerbitan dokumen penjualan dan bukti pembayaran. Karena DJP tidak mampu menyajikan bukti-bukti yang memadai dan meyakinkan untuk membuktikan adanya pengalihan hak dari PT DM kepada pihak di Surabaya, Majelis menilai koreksi DPP PPN tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan harus dibatalkan.
Implikasi dari Putusan ini sangat signifikan, khususnya bagi perusahaan yang memiliki rantai pasok kompleks atau memanfaatkan gudang pihak ketiga. Putusan ini memperkuat prinsip substance over form dalam PPN, di mana pengenaan pajak tidak boleh didasarkan pada asumsi pergerakan fisik semata. Putusan ini menjadi pengingat strategis bagi Wajib Pajak untuk memastikan setiap pergerakan stok, terutama ke pihak afiliasi atau non-afiliasi yang menyediakan jasa logistik, harus didukung oleh dokumentasi internal yang ketat. Ketiadaan invoice penjualan, ketiadaan jurnal pengakuan pendapatan, dan sinkronisasi yang kuat antara data mutasi persediaan dengan Laporan Laba Rugi PPh Badan akan menjadi benteng pertahanan utama dalam menghadapi uji arus barang oleh otoritas pajak.
Sebagai kesimpulan, Majelis Hakim dengan pertimbangan yang komprehensif mengabulkan seluruh permohonan banding Wajib Pajak. Keputusan ini menegaskan kembali bahwa dalam PPN Keluaran, yang menjadi objek pajak adalah peristiwa hukum pengalihan hak kepemilikan BKP, dan bukan sekadar perpindahan tempat penyimpanan persediaan.